Minggu, 01 Mei 2016

METODE PEMBELAJARAN ABK

Metode Pengajaran pada ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

      Metode Pembelajaran menurut Sudjana (1989: 30) yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah “ tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian “Metode mengajar yang digunakan guru hampir tidak ada yang sisa-sia, karena metode tersebut mendatangkan hasil dalam waktu dekat atau dalam waktu yang relatif lama. Hasil yang dirasakan dalam waktu dekat dikatakan sebagai dampak langsung (Instructional effect) sedangkan hasil yang dirasakan dalam waktu yang relatif lama disebut dampak pengiring (nurturant effect) biasanya bekenaan dengan sikap dan nilai. Menurut Nana Sudjana (2005: 76) metode pembelajaran adalah, “Metode pembelajaran ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Menurut M.Sobri Sutikno (2009: 88) menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Metode pembelajaran sangatlah penting dalam dunia pendidikan anak, begitupun juga pada Sekolah Dasar Luar Biasa, Metode Pembelajaran sendiri dalam pendidikan Sekolah Luar Biasa terdiri dari berbagai Metode diantaranya :
§  Communication
            Siswa tidak lepas berkomunikasi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru.
§  Task Analisis
            Mendeskripsikan tugas-tugas yang harus dilakukan kedalam indikator-indikator kompetensi
§  Direct Instruction
            Pengajaran yang menggunakan pendekatan selangkah-selangkah yang terstruktur dengan cermat, dalam intruktur atau perintah. Metode pembelajaran ini memberikan pengalaman belajar yang positif dengan demikian dapat meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi untuk berprestasi.
§  Prompt
Setiap bantuan yang diberikan pada anak untuk menghasilkan respon yang benar, dan memberikan anak informasi tambahan atau bantuan untuk menjelaskan instruksi, adapaun jenisnya yaitu :
1.      Verbal promp
2.      Modeling
3.      Gestural prompts
4.      Psycal promp
5.      Peer tutorial
6.      Cooperative Learning.
             Dari beberapa pemaparan kajian teoritis diatas, metode pembelajaran sangatlah berguna untuk menunjang proses pembelajaran dalam kelas, kemudian dalam jenis-jenis metode pembelajaran yang telah dipaparkan terdapat  beberapa metode yang digunakan dalam proses pembelajaran kelas 5 (lima) yang terdiri dari 5 siswa di SDLB Putra Jaya Malang, dari hasil wawancara dengan wali kelas dan observasi di lapangan tepatnya di kelas 5 (Lima) SDLB Putra Jaya Malang, metode yang sering digunakan adalah Metode Komunikasi, Task analisis, Direct Introduction.
            Penggunaan metode-metode tersebut dirasa efektif karena bisa menjangkau siswa dari beberapa metode supaya dalam proses pembelajarannya dapat diterima siswa dengan baik. Dalam contoh penerapannya metode komunikasi ialah guru selalu berperan aktif dalam mengajak siswanya berkomunikasi, task analisis ialah seorang guru memberi tugas-tugas kepada siswa kemudian siswa mempraktekannya seperti bina diri.
 Untuk penerapan metode-metode tersebut seorang guru harus sepandai mungkin untuk menerapkan pada siswa-siswanya, apalagi pada kelas 5 (lima) tersebut terdapat beberapa siswa yang menyandang disabilitas yang berbeda, yaitu tuna rungu 3 (tiga), tuna grahita 1 (satu), down syndrome 1 (satu), hal tersebut tentunya menjadi persoalan tersendiri dalam penyampaian materi kepada siswa, tetapi dari penjelasan Wali Kelas yaitu Ibu Astuti, untuk penyampaian materi seorang guru harus menjelaskan satu per satu pada siswa dengan bergantian, hal tersebut dilakukan karena dalam satu kelas khususnya kelas 5 (lima) terdapat beberapa siswa penyandang disabilitas yang berbeda, jadi penyampaiannya harus satu per satu setiap anak, seperti tuna grahita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut (Halahan dan Kauffman, 1994)  :
*      -Saat duduk di dalam kelas, masih harus didampingi guru
*      -Diajarkan membedakan stimulus suara dan visual
*      -Kemampuan berbahasa perlu dikembangkan
*      -Dibimbing bagaimana bina diri
*      -Dibimbing bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya dalam situasi kelompok
            Kemudian pada anak tuna rungu yang juga mempunyai keterbatasan dalam berbicara, dan down syndrome yang mempunyai ciri fisik yang berbeda karena kesalahan kromosom.
            Dalam penunjang proses belajar mengajar di SDLB Putra Jaya Malang khususnya pada kelas 5 (lima) terdapat kelas yang kondusif, nyaman dan menarik, di dalam kelas tersebut terdapat beberapa hiasan dinding yang berwarna-warni, beberapa almari, meja kursi, papan tulis, laptop dan tidak lupa tenaga pengajar yang berkompeten.
            Fasilitas penunjang pembelajaran sendiri ialah menurut Mulyasa (2005) lebih lanjut menerangkan bahwa “prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengaja, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan”.

          Dalam proses pembelajaran terkadang para siswa merasa jenuh, tetapi pihak guru terutama wali kelas mengajak siswanya belajar menggunakan computer yang didalamnya terdapat game-game menarik dan mendidik memanfaatkan fasilitas sekolah yang ada. Selain itu untuk menunjang kekratifan siswa, setiap satu minggu sekali diadakan kegiatan ekstra kulikuler seperti Pramuka, Drum Band, Tari, dll.
            Pihak dari SDLB Putra Jaya juga memberikan laporan hasil belajar siswa-siswanya setiap 6 bulan sekali atau setiap semester genap maupun ganjil, selain itu semua siswa setiap tahunnya mendapat beasiswa secara merata dari instansi terkait.
 
Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus 

Anak berkebutuhan khusus yang mengalami kecacatan fisik, yaitu tunanetra, tunarungu/wicara, tuna daksa, tunamental, tunalaras, dan anak berbakat. Untuk mengenal lebih lanjut layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bentuk atau jenis layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum dan khusus. Setelah mengikuti uraian ini diharapkan saudara memiliki kompetenti untuk menjelaskan bentuk layanan pendidikan bagi anak bekebutuhan khusus
1).Bentuk Layanan
·                      Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1.                   Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2.                   Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3.                   Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4.                   Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
5.                   Pusat Diagnostik-Prescriptif
6.                   Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa).
7.                   Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
8.                   Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9.                   Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
·                      Samuel A. Kirk (1986) membuat gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bergradasi dari model segregasi ke model mainstreaming seperti tersebut di bawah ini:
1.                   LeastRestrectiveEnvironment(Sekolah RegulerPenuh)
2.                   meanstreamingsegregationReguler Classroom Teacher Consultant(Sekolah Reguler dengan Guru Konsultan)
3.                   Residential Institution(Institusi Khusus)
4.                   Residential School(Sekolah Berasrama)
5.                   Special Day School(Sekolah Khusus Harian)
6.                   RegulerClassroom ItenerantTeacher(Sekolah Reguler dengan Guru Kunjung)
7.                   RegulerClassroom Resource Room(Sekolah Reguler dengan R. SumberBelaj)
8.                   Part-time Special class(Sekolah Reguler Paruh Waktu)
9.                   Self Contained Special Classes(Kelas Khusus Ttppd Sek. Reg.)
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas, bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
1.                   Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
      Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar Biasa.  Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya  kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi; anak tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain, ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.  Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas.
Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
4) Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi bunyi dan irama; anak tudagrahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.
Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingka dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama 6 tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun.  Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
1.                   a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun
2.                   b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun
3.                   c) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991 juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.

2. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.  Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagaian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.  Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
1) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Seagai konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
2) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
3) Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

Pendidikan Inklusif
Konsep inklusi, dimana sistem suatu institusi atau lembaga yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan dialogis.
Dari uraian tersebut sesungguhnya dikemukakan, bahwa konsep inklusif lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994/1995) didefinisikan sebagai suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak. Sejalan dengan konsep ini, Smith (2006:45) mengemukakan, bahwa inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang mengalami hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah. Gagasan utama mengenai pendidikan inklusif ini menurut Johnsen (2003:181), adalah sebagai beriku:
1.                   Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas dan kelompok reguler.
2.                   Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.
3.                   Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai tentang pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.
Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Penting bagi guru untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif , yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah.
Kesadaran tersebut juga perlu dibangun, terutama berkenaan dengan pengembangan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Ini didasari atas pertimbangan, bahwa anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya.
Adapun  Tujuan dan manfaat pendidikan inklusif:
Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Manfaat pendidikan inklusif adalah :
·                      Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
·                      Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
·                      Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
·                      Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
1.                   Pendidikan inklusif memiliki ciri-ciri antara lain:
2.                   ABK belajar bersama-sama dengan anak rata-rata lainnya
3.                   setiap anak memperoleh layanan pendidikan yang layak, menantang dan bermutu
4.                   setiap anak memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya
5.                   system pendidikan menyesuaikan dengan kondisi anak.
6.                   Pendidikan inklusif memiliki keuntungan antara lain:
7.                   dapat memenuhi hak pendidikan bagi semua orang (education for all);
8.                   mendukung proses wajib belajar;
9.                   pembelajaran emosi-sosial bagi ABK;
10.               pembelajaran emosi-sosial-spiritual bagi anak rerata lainnya;
11.               pendidikan ABK lebih efisien.
Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus, yaitu
1.                   Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
2.                   Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus
3.                   Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
  Model Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model.
1.                   model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.
2.                   model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.
Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.
Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu:
1.                   Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh
2.                   Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:
1.                   Bentuk kelas reguler penuh, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2.                   Bentuk kelas reguler dengan cluster, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3.                   Bentuk kelas reguler dengan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4.                   Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
5.                   Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.                   Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler, Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
 Implementasi Inklusif
Pendidikan inklusif sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah beberapa dekade ini diterapkan secara luas oleh para pendidik di berbagai negra untuk anak- anak berkebutuhan khusus, meskipun orientasi dan implementasinya berbeda. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbagkan dalam implementasi pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud menurut skjorten, Miriam D (2003:52-58) adalah;
·                      Kebijakan – hukum- undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang mengakomodasi kepentingan anak berkebutuhan khusus, sertu dukungan dana dalam implementasinya;
·                      Sikap – pengalaman- pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta kemampuan dan potensinya;
·                      Kurikulum lokal, reginal, dan nasional;
·                      Perubahan pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan, dalam bidang pendidikan guru dan penelitian;
·                      Kerjasama lintas sektoral;
·                      Adaptasi lingkungan, dan
·                      Penciptaan lapangan kerja.
Di Indonesia sendiri Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis, implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa:
1.                   Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus
2.                   Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda
3.                   Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua masyarakat dan pemerintah
4.                   Setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak
5.                   Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan landasan yuridis-empirisnya mengacu pada:
1.                   UUSPN No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2)
2.                   U U D 1945 pasal 31 ayat (1) & (2). dan (3)
3.                   Permen No 22 dan 23 Tahun 2006
4.                   Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948
5.                   Konvensi Hak Anak, 1989
6.                   Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
7.                   Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang
8.                   Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan
9.                   Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen “pendidikan inklusif”.
Kendati demikian, selama ini masih ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis, sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.
 Kurikulum ABK
Kurikulum adalah seperangkat rencana pembelajaran yang didalamnya menampung pengaturan tentang tujuan, isi, proses, dan evaluasi. Dengan demikian kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang dirancang, diberlakukan dan diimplementasikan dalam satu lembaga atau satuan pendidikan tertentu. Selanjutnya silabus merupakan rancangan pembelajaran yang disusun oleh guru selama satu semester. Sedangkan RPP sebagai rencana pembelajaran yang di susun guru untuk satu atau bebrapa pertemuan dengan peserta didik.
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan  menjadi empat, yakni:
1.                   Duplikasi Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
2.                   Modifikasi Kurikulum
Yakni kurikulum siswa rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented.
3.                   Substitusi Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.
4.                   Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.

 Sekolah Penyelenggara
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, tentulah sekolah umum yang telah memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa persyaratan dimaksud diantaranya berkenaan dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus, komitmen, manajemen sekolah, sarana prasarana, dan ketenagaan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusis haruslah memiliki siswa berkebutuhan khusus, memiliki komitmen terhadap pendidikan inklusi, penuntasan wajib belajar maupun terhadap komite sekolah. Selain itu juga harus memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, yang didukung dengan adanya fasilitas dan sarana pembelajaran yang mudah diakses oleh semua anak.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi juga harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Berbagai metode, atau strategi belajar sangat mungkin dikembangkan pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan fleksibel. Adanya penghargaan terhadap diri anak, memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri anak, dengan menggunakan kata-kata atau nada suara yang baik. Ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki guru pendidikan inklusi, sebagaimana dikemukakan Mirriam S (2005), yaitu :
1.                   Pengetahuan tentang perkembangan anak
2.                   Pemahaman akan kebutuhan dan nilai interaksi komunikasi dan pentingnya dialog di kelas
3.                   Pemahaman akan pentingnya mendorong rasa penghargaan diri anak berkaitan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasikan sumber
4.                   Pemahaman tentang ”Konvensi Hak Anak” dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak
5.                   Pemahaman tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang berkaitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan metode dan bahan pembelajaran
6.                   Pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis
7.                   Pemahaman pentingnya evaluasi dan asesmen berkesinambungan oleh guru
8.                   Pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan pembelajaran yang berdeferensi
9.                   Pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh kecacatan fisik atau mental
10.               Pemahaman konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan akan implementasi pendekatan dan metode baru.
        Kurikulum yang diterapkan, dapat menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dikembangkan sekolah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk anak-anak normal penuh, modifikasi, atau secara khusus dikembangkan program pembelajaran individual (PPI) bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah juga harus mempersiapkan guru pendamping khusus, yang bisa didatangkan dari sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (SLB) sebagai sekolah basis, ataupun guru di sekolah umum yang telah memperoleh pelatihan khusus sebagai guru pendamping untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif.
Rangkuman Pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Hal ini berkenaan dengan adanya hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang baik.



DAFTAR PUSTAKA
Ikad. 2013.  Makalah ABK (Anak Berkebutahan Khusus). Di unduh melalui : http: //ikad _49009 .wordpress.com /2013/05/29/makalah-abk-anak-berkebutuhan-khusus/
Ghozali, Umar. 2013. Makalah Anak Berkebutuhan Khusus. Di unduh melalui : http:/ /ghozaliu.blogspot.com/2013/01/makalah-anak-berkebutuhan-khusus-abk.html
Wulandari. Desi. 2012. Defini Metode Pembelajaran Menurut Para Ahli.. Di unduh melalui : http://mtk2012unindra.blogspot.com/2012/10/definisi-metode-pembelajaran-menurut.html
S. nayyanrise. Metode Pengajaran ABK. 2012. Di unduh melalui : http://nayyanrises. wordpress.com/materiku-2/paper/137-2/
Rahayu. Esthi.2010. Perilaku Adaptif  Tuna Grahita Dewasa Ditinjau Dari Klasifikasi TunaGrahita. Semarang. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Mulyasa. 2005.Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta. Depdiknas
C:\Users\Fenny\Downloads\Documents\Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+2_2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar