Metode
Pengajaran pada ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
Metode Pembelajaran menurut Sudjana
(1989: 30) yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah “ tujuan, bahan,
metode dan alat serta penilaian “Metode mengajar yang digunakan guru hampir
tidak ada yang sisa-sia, karena metode tersebut mendatangkan hasil dalam waktu
dekat atau dalam waktu yang relatif lama. Hasil yang dirasakan dalam waktu
dekat dikatakan sebagai dampak langsung (Instructional effect) sedangkan hasil
yang dirasakan dalam waktu yang relatif lama disebut dampak pengiring
(nurturant effect) biasanya bekenaan dengan sikap dan nilai. Menurut Nana
Sudjana (2005: 76) metode pembelajaran adalah, “Metode pembelajaran ialah cara
yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat
berlangsungnya pengajaran”. Menurut M.Sobri Sutikno (2009: 88)
menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran
yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa
dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Metode pembelajaran sangatlah penting dalam dunia
pendidikan anak, begitupun juga pada Sekolah Dasar Luar Biasa, Metode
Pembelajaran sendiri dalam pendidikan Sekolah Luar Biasa terdiri dari berbagai
Metode diantaranya :
§ Communication
Siswa tidak lepas berkomunikasi antara siswa dengan siswa
maupun siswa dengan guru.
§ Task Analisis
Mendeskripsikan tugas-tugas yang harus dilakukan kedalam
indikator-indikator kompetensi
§ Direct Instruction
Pengajaran yang menggunakan pendekatan
selangkah-selangkah yang terstruktur dengan cermat, dalam intruktur atau
perintah. Metode pembelajaran ini memberikan pengalaman belajar yang positif
dengan demikian dapat meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi untuk
berprestasi.
§ Prompt
Setiap bantuan yang
diberikan pada anak untuk menghasilkan respon yang benar, dan memberikan anak
informasi tambahan atau bantuan untuk menjelaskan instruksi, adapaun jenisnya
yaitu :
1.
Verbal promp
2.
Modeling
3.
Gestural prompts
4.
Psycal promp
5.
Peer tutorial
6.
Cooperative Learning.
Dari beberapa
pemaparan kajian teoritis diatas, metode pembelajaran sangatlah berguna untuk
menunjang proses pembelajaran dalam kelas, kemudian dalam jenis-jenis metode
pembelajaran yang telah dipaparkan terdapat
beberapa metode yang digunakan dalam proses pembelajaran kelas 5 (lima)
yang terdiri dari 5 siswa di SDLB Putra Jaya Malang, dari hasil wawancara
dengan wali kelas dan observasi di lapangan tepatnya di kelas 5 (Lima) SDLB
Putra Jaya Malang, metode yang sering digunakan adalah Metode Komunikasi, Task
analisis, Direct Introduction.
Penggunaan metode-metode tersebut dirasa efektif karena
bisa menjangkau siswa dari beberapa metode supaya dalam proses pembelajarannya
dapat diterima siswa dengan baik. Dalam contoh penerapannya metode komunikasi
ialah guru selalu berperan aktif dalam mengajak siswanya berkomunikasi, task
analisis ialah seorang guru memberi tugas-tugas kepada siswa kemudian siswa
mempraktekannya seperti bina diri.
Untuk penerapan metode-metode tersebut seorang
guru harus sepandai mungkin untuk menerapkan pada siswa-siswanya, apalagi pada
kelas 5 (lima) tersebut terdapat beberapa siswa yang menyandang disabilitas
yang berbeda, yaitu tuna rungu 3 (tiga), tuna grahita 1
(satu), down syndrome 1 (satu), hal tersebut tentunya menjadi persoalan
tersendiri dalam penyampaian materi kepada siswa, tetapi dari penjelasan Wali
Kelas yaitu Ibu Astuti, untuk penyampaian materi seorang guru harus menjelaskan
satu per satu pada siswa dengan bergantian, hal tersebut dilakukan karena dalam
satu kelas khususnya kelas 5 (lima) terdapat beberapa siswa penyandang
disabilitas yang berbeda, jadi penyampaiannya harus satu per satu setiap anak,
seperti tuna grahita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut (Halahan dan
Kauffman, 1994) :
-Saat duduk di dalam
kelas, masih harus didampingi guru
-Diajarkan membedakan stimulus suara dan visual
-Kemampuan berbahasa
perlu dikembangkan
-Dibimbing bagaimana
bina diri
-Dibimbing bagaimana
berinteraksi dengan teman sebaya dalam situasi kelompok
Kemudian pada anak tuna rungu yang juga mempunyai
keterbatasan dalam berbicara, dan down syndrome yang mempunyai ciri fisik yang
berbeda karena kesalahan kromosom.
Dalam penunjang proses belajar mengajar di SDLB Putra
Jaya Malang khususnya pada kelas 5 (lima) terdapat kelas yang kondusif, nyaman
dan menarik, di dalam kelas tersebut terdapat beberapa hiasan dinding yang
berwarna-warni, beberapa almari, meja kursi, papan tulis, laptop dan tidak lupa
tenaga pengajar yang berkompeten.
Fasilitas penunjang pembelajaran sendiri ialah menurut Mulyasa
(2005) lebih lanjut menerangkan bahwa “prasarana pendidikan adalah fasilitas
yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau
pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah tetapi
jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengaja, komponen
tersebut merupakan sarana pendidikan”.
Dalam proses
pembelajaran terkadang para siswa merasa jenuh, tetapi pihak guru terutama wali
kelas mengajak siswanya belajar menggunakan computer yang didalamnya terdapat
game-game menarik dan mendidik memanfaatkan fasilitas sekolah yang ada. Selain
itu untuk menunjang kekratifan siswa, setiap satu minggu sekali diadakan
kegiatan ekstra kulikuler seperti Pramuka, Drum Band, Tari, dll.
Pihak dari SDLB Putra Jaya juga memberikan laporan hasil
belajar siswa-siswanya setiap 6 bulan sekali atau setiap semester genap maupun
ganjil, selain itu semua siswa setiap tahunnya mendapat beasiswa secara merata
dari instansi terkait.
Model Layanan Pendidikan Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kecacatan fisik, yaitu tunanetra, tunarungu/wicara, tuna daksa,
tunamental, tunalaras, dan anak berbakat. Untuk mengenal lebih lanjut layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terlebih dahulu akan diuraikan
beberapa bentuk atau jenis layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
secara umum dan khusus. Setelah mengikuti uraian ini diharapkan saudara
memiliki kompetenti untuk menjelaskan bentuk layanan pendidikan bagi anak bekebutuhan
khusus
1).Bentuk Layanan
·
Menurut
Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1.
Reguler
Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2.
Reguler
Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3.
Itinerant
Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4.
Resource
Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa
kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
5.
Pusat
Diagnostik-Prescriptif
6.
Hospital or
Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi
anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa).
7.
Self-contained
Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
8.
Special Day
School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9.
Residential
School (Sekolah luar biasa berasrama)
·
Samuel A.
Kirk (1986) membuat gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
bergradasi dari model segregasi ke model mainstreaming seperti tersebut di
bawah ini:
1.
LeastRestrectiveEnvironment(Sekolah
RegulerPenuh)
2.
meanstreamingsegregationReguler
Classroom Teacher Consultant(Sekolah Reguler dengan Guru Konsultan)
3.
Residential
Institution(Institusi Khusus)
4.
Residential
School(Sekolah Berasrama)
5.
Special Day
School(Sekolah Khusus Harian)
6.
RegulerClassroom
ItenerantTeacher(Sekolah Reguler dengan Guru Kunjung)
7.
RegulerClassroom
Resource Room(Sekolah Reguler dengan R. SumberBelaj)
8.
Part-time
Special class(Sekolah Reguler Paruh Waktu)
9.
Self
Contained Special Classes(Kelas Khusus Ttppd Sek. Reg.)
Berdasarkan kedua pendapat tersebut
di atas, bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
1.
Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari
sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui
sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan
secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada
lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar
Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah
Menangah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem
pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan
karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu,
adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan
layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan
khusus mereka. Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus
berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tunarungu memerlukan komunikasi
total, bina persepsi bunyi; anak tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan
aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk penyelenggaraan
pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan
bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan.
Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan
tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala
sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang
sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk
tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C),
SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB
tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain, ada SLB yang hanya mendidik
satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan,
sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita;
SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan
tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit
dan fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama
merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta
didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan
dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan,
tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan
pendidikannyapun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk
anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D
untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta SLB-AB untuk anak
tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat
kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama,
sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu,
SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang
berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah
lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan
kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka
menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak
berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah
yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh
karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas.
Dalam penyelenggaraan kelas
jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang
bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka
berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya
dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
4) Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan
belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II
menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit
sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam
SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri
dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru
untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru
olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli
yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter
spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain itu ada
tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB
adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan
dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok,
dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga
lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka
rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan
ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh latihan menulis dan membaca braille
dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran,
komunikasi total, bina persepsi bunyi dan irama; anak tudagrahita memperoleh
layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan
fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.
Lama pendidikan di SDLB sama dengan
lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingka dasar, yaitu anak tunanetra,
tunagrahita, dan tunadaksa selama 6 tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun.
Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2
tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan
pendidikan luar biasa terdiri dari:
1.
a) Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun
2.
b) Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun
3.
c) Sekolah
Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72
tahun 1991 juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa
(TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.
2. Bentuk
Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan
terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal)
di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan
khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut
juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak
berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan
tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka
sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagaian, jumlah
anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa
keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini
untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru
harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang
dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas,
kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga
berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada
kelas khusus. Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut
adalah:
1) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan
kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan
guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan
petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas
biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini guru
pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru
kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Seagai
konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai
kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian
yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada
sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan
ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika,
menulis, membaca perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu
mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu
disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
2) Kelas Biasa dengan Ruang
Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa
serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat
diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus
tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK),
dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk
keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak
tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga
keterpaduan sebagian.
3) Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak
berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara
penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan
terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau
keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru
pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus.
Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan,
metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada
tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus
dapat dipadukan untk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga,
keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang
diadakan oleh sekolah.
Pendidikan
Inklusif
Konsep inklusi, dimana sistem suatu
institusi atau lembaga yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu,
integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi
berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan
dialogis.
Dari uraian tersebut sesungguhnya
dikemukakan, bahwa konsep inklusif lebih menekankan pada upaya pemenuhan
kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif
menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994/1995) didefinisikan sebagai suatu
sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan
khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya. Untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi
komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak. Sejalan
dengan konsep ini, Smith (2006:45) mengemukakan, bahwa inklusi dapat berarti
penerimaan anak-anak yang mengalami hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan,
interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah. Gagasan utama mengenai
pendidikan inklusif ini menurut Johnsen (2003:181), adalah sebagai beriku:
1.
Bahwa setiap
anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas dan kelompok
reguler.
2.
Bahwa
kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif,
individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.
3.
Bahwa guru
bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan
kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan
tentang cara menghargai tentang pluralitas perbedaan individual dalam mengatur
aktivitas kelas.
Pendidikan inklusi mempercayai bahwa
semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia
atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun
kelainannya. Penting bagi guru untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat
membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala
mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif , yang terpusat pada
anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi
khusus yang akan diterapkan di sekolah.
Kesadaran tersebut juga perlu
dibangun, terutama berkenaan dengan pengembangan pendidikan yang disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Ini didasari atas
pertimbangan, bahwa anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak
untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya.
Adapun Tujuan dan manfaat
pendidikan inklusif:
Pendidikan inklusif dimaksudkan
sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-sertakan anak berkebutuhan
khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat
dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak
sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana
pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan
individu peserta didik.
Manfaat pendidikan inklusif adalah :
·
Membangun
kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan
sikap dan nilai yang diskriminatif.
·
Melibatkan
dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal,
mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi
alasan mengapa mereka tidak sekolah.
·
Mengidentifikasi
hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap
akses dan pembelajaran.
·
Melibatkan
masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi
semua anak.
1.
Pendidikan
inklusif memiliki ciri-ciri antara lain:
2.
ABK belajar
bersama-sama dengan anak rata-rata lainnya
3.
setiap anak
memperoleh layanan pendidikan yang layak, menantang dan bermutu
4.
setiap anak
memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya
5.
system
pendidikan menyesuaikan dengan kondisi anak.
6.
Pendidikan
inklusif memiliki keuntungan antara lain:
7.
dapat
memenuhi hak pendidikan bagi semua orang (education for all);
8.
mendukung
proses wajib belajar;
9.
pembelajaran
emosi-sosial bagi ABK;
10.
pembelajaran
emosi-sosial-spiritual bagi anak rerata lainnya;
11.
pendidikan
ABK lebih efisien.
Tiga alasan mengapa ABK memerlukan
layanan pendidikan khusus, yaitu
1.
Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki
kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga
memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
2.
Potensi
siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus
3.
Siswa ABK
akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
Model Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif pada dasarnya
memiliki dua model.
1.
model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.
2.
model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan
peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung
di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan
bantuan guru pendamping khusus.
Model lain misalnya dikemukakan oleh
Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model
pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive).
Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi
peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang
pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang
berisi peserta didik normal.
Model inklusif terbalik agaknya
menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta
didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak
dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk
anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk
peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti
apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada
konsep dasar pendidikan inklusif.
Model pendidikan inklusif yang
diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat.
Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu:
1.
Pendidikan
inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh
2.
Model
moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan
antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan
reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler
hanya untuk beberapa waktu saja.
Filosofinya tetap pendidikan
inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai
alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan
khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain,
seperti:
1.
Bentuk kelas reguler penuh, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang
sama.
2.
Bentuk kelas reguler dengan cluster, Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3.
Bentuk kelas reguler dengan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing
khusus.
4.
Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
bersama dengan guru pembimbing khusus.
5.
Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, Anak berkebutuhan khusus belajar
di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.
Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler, Anak berkebutuhan khusus belajar
di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif
seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus
berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi
penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di
kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat.
Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin
akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi
lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak
memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah
khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Implementasi Inklusif
Pendidikan inklusif sebenarnya
merupakan perkembangan lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah
beberapa dekade ini diterapkan secara luas oleh para pendidik di berbagai negra
untuk anak- anak berkebutuhan khusus, meskipun orientasi dan implementasinya
berbeda. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbagkan dalam implementasi
pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud menurut skjorten, Miriam D
(2003:52-58) adalah;
·
Kebijakan –
hukum- undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang
mengakomodasi kepentingan anak berkebutuhan khusus, sertu dukungan dana dalam
implementasinya;
·
Sikap –
pengalaman- pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta
kemampuan dan potensinya;
·
Kurikulum
lokal, reginal, dan nasional;
·
Perubahan
pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan,
dalam bidang pendidikan guru dan penelitian;
·
Kerjasama
lintas sektoral;
·
Adaptasi
lingkungan, dan
·
Penciptaan
lapangan kerja.
Di Indonesia sendiri Pelaksanaan
pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada beberapa landasan, filosofis dan
yuridis-empiris. Secara filosofis, implementasi inklusi mengacu pada beberapa
hal, diantaranya, bahwa:
1.
Pendidikan
adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus
2.
Anak adalah
pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan
belajar yang berbeda
3.
Penyelenggaraan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua masyarakat dan
pemerintah
4.
Setiap anak
berhak mendapat pendidikan yang layak
5.
Setiap anak
berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan landasan
yuridis-empirisnya mengacu pada:
1.
UUSPN No 20
tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2)
2.
U U D 1945
pasal 31 ayat (1) & (2). dan (3)
3.
Permen No 22
dan 23 Tahun 2006
4.
Deklarasi
Hak Asasi Manusia, 1948
5.
Konvensi Hak
Anak, 1989
6.
Konferensi
Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
7.
Resolusi PBB
nomor 48/96 tahun 1993 tentang
8.
Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan
9.
Pernyataan
Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai
Pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi
(2005) komitmen “pendidikan inklusif”.
Kendati demikian, selama ini masih
ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut pelaksanaan pendidikan inklusif
di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan
inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan
intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis,
sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus, termasuk
diantaranya anak-anak yang kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.
Kurikulum ABK
Kurikulum adalah seperangkat rencana
pembelajaran yang didalamnya menampung pengaturan tentang tujuan, isi, proses,
dan evaluasi. Dengan demikian kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum yang dirancang, diberlakukan dan diimplementasikan dalam satu lembaga
atau satuan pendidikan tertentu. Selanjutnya silabus merupakan rancangan
pembelajaran yang disusun oleh guru selama satu semester. Sedangkan RPP sebagai
rencana pembelajaran yang di susun guru untuk satu atau bebrapa pertemuan
dengan peserta didik.
Dalam pembelajaran inklusif, model
kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:
1.
Duplikasi
Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang
tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini
cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan
tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan
intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik
tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa
isyarat dalam penyampaiannya.
2.
Modifikasi
Kurikulum
Yakni kurikulum siswa
rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi ABK.
Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan
modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and
talented.
3.
Substitusi
Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak
rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model
kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.
4.
Omisi
Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum
untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi
ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.
Sekolah Penyelenggara
Sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif, tentulah sekolah umum yang telah memenuhi beberapa persyaratan yang
telah ditentukan. Beberapa persyaratan dimaksud diantaranya berkenaan dengan
keberadaan siswa berkebutuhan khusus, komitmen, manajemen sekolah, sarana
prasarana, dan ketenagaan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusis haruslah
memiliki siswa berkebutuhan khusus, memiliki komitmen terhadap pendidikan
inklusi, penuntasan wajib belajar maupun terhadap komite sekolah. Selain itu
juga harus memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, yang
didukung dengan adanya fasilitas dan sarana pembelajaran yang mudah diakses
oleh semua anak.
Sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi juga harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran,
yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
Berbagai metode, atau strategi belajar sangat mungkin dikembangkan pada
sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, untuk menciptakan situasi
pembelajaran yang aktif dan fleksibel. Adanya penghargaan terhadap diri anak,
memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri anak, dengan menggunakan kata-kata
atau nada suara yang baik. Ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki guru
pendidikan inklusi, sebagaimana dikemukakan Mirriam S (2005), yaitu :
1.
Pengetahuan
tentang perkembangan anak
2.
Pemahaman
akan kebutuhan dan nilai interaksi komunikasi dan pentingnya dialog di kelas
3.
Pemahaman
akan pentingnya mendorong rasa penghargaan diri anak berkaitan dengan
perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan
berorientasikan sumber
4.
Pemahaman tentang
”Konvensi Hak Anak” dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan
perkembangan semua anak
5.
Pemahaman
tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang
berkaitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan metode dan bahan
pembelajaran
6.
Pemahaman
arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis
7.
Pemahaman
pentingnya evaluasi dan asesmen berkesinambungan oleh guru
8.
Pemahaman
konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan pembelajaran
yang berdeferensi
9.
Pemahaman
terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh kecacatan fisik atau
mental
10.
Pemahaman
konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan akan implementasi pendekatan dan
metode baru.
Kurikulum yang diterapkan, dapat menggunakan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) dikembangkan sekolah sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar untuk anak-anak normal penuh, modifikasi, atau secara khusus
dikembangkan program pembelajaran individual (PPI) bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Sekolah juga harus mempersiapkan guru pendamping khusus, yang bisa
didatangkan dari sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (SLB) sebagai sekolah
basis, ataupun guru di sekolah umum yang telah memperoleh pelatihan khusus
sebagai guru pendamping untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum
penyelenggara pendidikan inklusif.
Rangkuman Pendidikan inklusif
merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua
anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa
bersama teman-teman seusianya. Hal ini berkenaan dengan adanya hak setiap anak
untuk memperoleh pendidikan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ikad. 2013.
Makalah ABK (Anak Berkebutahan Khusus). Di unduh melalui : http: //ikad
_49009 .wordpress.com /2013/05/29/makalah-abk-anak-berkebutuhan-khusus/
Ghozali, Umar. 2013. Makalah Anak Berkebutuhan Khusus.
Di unduh melalui : http:/
/ghozaliu.blogspot.com/2013/01/makalah-anak-berkebutuhan-khusus-abk.html
Wulandari. Desi. 2012. Defini Metode
Pembelajaran Menurut Para Ahli.. Di unduh melalui : http://mtk2012unindra.blogspot.com/2012/10/definisi-metode-pembelajaran-menurut.html
S. nayyanrise. Metode Pengajaran ABK. 2012. Di unduh
melalui : http://nayyanrises. wordpress.com/materiku-2/paper/137-2/
Rahayu. Esthi.2010. Perilaku Adaptif
Tuna Grahita Dewasa Ditinjau Dari Klasifikasi TunaGrahita. Semarang.
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Mulyasa. 2005.Manajemen Berbasis
Sekolah. Jakarta. Depdiknas
C:\Users\Fenny\Downloads\Documents\Pendidikan+Anak+Kebutuhan+Khusus+UNIT+2_2.pdf
https://ciskakhoerunnisa.wordpress.com/2014/05/13/model-dan-bentuk-layanan-anak-berkebutuhan-khusus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar